top of page
Writer's pictureAdmin

Workshop Storytelling di Desa Danan

Suatu hari saya mendapat undangan dari teman saya, seorang frater (calon pastor dalam Katolik), untuk mengajar grup anak muda gerejanya tentang basic filmmaking. Frater Tiro sedang mendapat penempatan di desa Danan, Wonogiri, kira-kira 3 jam perjalanan darat dari kota Yogyakarta.


Untuk kelas basic filmmaking ini frater mengajukan ide untuk memanfaatkan smartphone dan alat-alat seadanya yang mudah didapat oleh anak-anak muda di sekitar desa Danan. Jadi tidak ada DLSR, mirrorless, macbook pro dll untuk menjadikan sebuah karya audiovisual apa yang ada di kepala anak-anak di sana. Wah menurut saya justru ini adalah suatu ide yang sangat menarik dan tentunya membawa akan banyak membawa manfaat bagi mereka. Yang saat itu saya tidak tahu adalah ternyata ide itu benar-benar sangat bermanfaat bagi mereka, dan saya.

Dalam perjalanan ke sana, kami sempat mampir untuk melihat mekarnya bunga Amarilis, bunga bakung yang hanya bersemi di bulan Oktober. Indahnya hamparan bunga bakung membuat saya takjub akan kebahagiaan sederhana yang jarang bisa disaksikan di perkotaan. Beruntungnya mereka yang tinggal di desa.

Samudra kecapean menempuh 2.5 jam perjalanan darat.


Bunga Bakung Oktober bersama Samudra, Tasha & Frater Tiro.


Samudra bermain bersama bayi kura-kura di pastoran Danan.


Suasana desa Danan. Masih banyak sekali rumah Gebyok.


Samudra & anak-anak Danan.


Suasana pastoran Danan.


Suasana kamar pastoran Danan tempat kami menginap. Samudra senang sekali tidur di dalam tenda anti nyamuk.


Workshop teknik dasar storytelling & filmmaking di pendopo Gua Maria Danan.


Kenapa Dokumenter? Kenapa lewat film?


Sesampainya di Danan kami langsung mengadakan workshop. Workshop pertama adalah dasar-dasar pola pikir dokumenter seperti merekam, mencari subject, wawancara dan mengumpulkan footage pendukung (entah dari shooting, foto ataupun stok-stok video lama).

Selesai workshop singkat ini, mereka langsung dibagi dalam 3 kelompok untuk meng-capture cerita apa yang benar-benar memanggil mereka untuk dibuat dalam sebuah film dokumenter sederhana. Saya sangat takjub dan terharu saat mereka begitu bersemangat untuk merekam beberapa permasalahan riil yang ada di sekitar mereka.

Kelompok pertama membuat cerita tentang napak tilas panitia acara pramuka dalam membuat acara Long March di sekolah mereka. Kelompok kedua merekam tentang fenomena pem-bully-an yang ramai terjadi di SMP/SMA mereka. Kelompok ketiga membuat film dengan tema percintaan remaja, penting atau tidaknya berpacaran dan hubungannya dengan perolehan akademik mereka. Tentu mereka menghubungkan semua dengan nilai-nilai rohani yang mereka anut, karena kebetulan mereka adalah grup anak muda Katolik desa Danan 🙂

Kelompok pertama yang membuat cerita napak tilas perjalanan panitia Long March sangat vokal dan berani untuk memasukkan ketidaksetujuan mereka dan rasa sakit hati mereka atas perlakuan Wakasek (Wakil Kepala Sekolah) kepada mereka. Kelompok ketiga dapat dengan bijaksana memasukkan nilai percintaan remaja yang bukan sekedar letupan cinta namun nilai eling tentang masa depan mereka dalam bidang akademis. Yang membuat saya paling takjub adalah kelompok kedua mengadakan in-depth interview terhadap korban bullying yang berani bersuara untuk ketidakadilan yang ia alami. Pewawancara kelompok dua pun bisa dengan alami mewawancara subjeknya sehingga ia nyaman untuk mengekspresikan emosinya dalam wawancara. Subyek kelompok dua menangis tersedu-sedu dalam wawancara, namun kelompok dua dapat meng-handle situasi dan menyelesaikan shooting hingga akhir. Semua shooting dilakukan dengan kamera smartphone. Bayangkan jika mereka nantinya punya akses ke fasilitas shooting yang baik seperti kamera cinema, lighting, tripod dll.

Workshop kedua langsung diadakan selepas mereka selesai shooting malamnya. Di sini semua footage yang mereka hasilkan langsung diedit dengan alat-alat mereka yang apa adanya. Bukan intel i5 ataupun i7. Berbekal laptop Acer dan RAM 4GB mereka bisa mengedit video mereka sendiri. Yang saya ajarkan benar-benar sederhana: Layer 1 interview, Layer 2 B-Rolls (footage pendukung). Untuk audio cukup ditambah dengan musik ala kadarnya untuk membantu membangun emosi.

Workshop editing till drop.


Ngajar sambil ditemani anak.


Proses editing sederhana. Yang penting layer 1 interview, layer 2 B-Roll.


Selepas malam, kami menginap di pastoran desa Danan. Makan malam di desa memang paling enak. Tempe di desa dengan tempe di Jakarta jauh sekali kualitasnya. Nasi putih hangat, tempe goreng, tempe benguk, botok tempe, nasi tiwul, dan sambal bawang, semuanya sangat sedap disantap malam. Paginya, Samudra bermain ke kampung sekitar. Memberi makan kambing, memberi makan kelinci, bermain dengan bayi kura-kura. Sungguh saya katakan sekali lagi, beruntungnya mereka yang tinggal di desa. Masih banyak sekali ruang untuk berkarya di desa. Terima kasih banyak untuk semua anak muda yang kembali lagi ke desa untuk berkarya di sana. Dalam kasus ini terima kasih untuk Frater Tiro yang masih muda juga dan menjadi teladan anak-anak muda desa Danan.

Minggu pagi setelah selesai Misa pagi, mereka mengadakan screening kecil-kecilan atas film yang mereka buat sehari sebelumnya. Hasil-hasil workshop Danan bisa dilihat di bawah tulisan ini nanti jika Anda berminat. Saya benar-benar terharu melihat apa yang sudah mereka buat dalam workshop ini. Saya percaya semangat anak muda yang berapi-api dapat disuarakan dengan baik, dengan media yang lain selain media lisan dan tulisan. Selamat berkarya anak-anak muda Danan, jadikan panggilan hati kalian karya audiovisual. Selamat menggelindingkan bola salju kecil dari puncak gunung.

Persiapan screening bersama Frater Tiro & teman-teman.


Samudra selfie bareng anak-anak OMK Danan.


Screening 3 film pendek karya anak-anak muda Danan.


Hadiah workshop dari OMK Danan. Terimakasih banyak!


Foto bersama OMK Danan.


Berikut film-film hasil workshop OMK Danan:



1 view0 comments

Comments


bottom of page