Sebagai bagian dari karya seni, film tidak hanya mementingkan aspek kreatif, technical dan
managerial saja. Hakikat dalam membuat film ialah saling berkomunikasi, baik secara tatap
muka ataupun daring. Dengan demikian, setiap anggota tim bisa menuangkan hingga
mempersatukan visi mereka menjadi sebuah pengalaman berbasis audio visual.
Salam kenal, nama saya Axel Theophilus dari jurusan Film di Universitas Multimedia Nusantara.
Awal mulanya, saya mengetahui Anatman melalui informasi yang diberikan kakak tertua saya,
yang kebetulan juga turut andil dalam mengikuti proyek yang diadakan oleh rumah produksi
tersebut. Terlebih lagi, selaku seorang vegetarian, Anatman selalu mengedepankan isu eco-
conscious di hampir sebagian besar proyeknya. Hal tersebut membuat saya juga lebih
berempati terhadap makhluk hidup di sekitar saya.
Di akhir Februari 2022, saya berkesempatan untuk mendaftar batch 2 Anatman Academy. Puji
Tuhan, dengan mengikuti seleksi berbasis wawancara, saya dinyatakan lulus untuk
menempatkan posisi sebagai editor di Anatman Academy. Saya yakin bahwa mengikuti
Anatman Academy merupakan batu lonjakan untuk karir saya sebagai film editor.
Ada beberapa spekulasi yang saya pikirkan, seperti lingkungan kerja yang tidak kondusif, jam
kerja melewati batas, senioritas, serta peralihan ke aplikasi Davinci Resolve sebagai aplikasi
editing utama, dikarenakan sebelumnya saya pengguna Premiere Pro. Tetapi, dengan hadirnya
kakak pembimbing, saya menyadari bahwa spekulasi yang saya pikirkan berbanding 180
derajat. Rasa hangat dan kasih sayang yang dipunyai Anatman menyadarkan saya bahwa inilah
suasana rumah produksi di masa depan, bukan berbasis rasa takut dan kemarahan.
Melalui pembuatan film dokumenter pendek “Berkembang”, wawasan saya tentang prosedur
pembuatan film, khususnya di tahap pasca produksi, jauh lebih banyak. Melakukan
penyuntingan gambar di Davinci Resolve serta color grading membuat saya menyadari prospek
karir saya di dunia perfilman nanti.
Saya percaya kepada kutipan dari filmmaker veteran, yakni Werner Herzog, yang mengatakan
“Do not work with yes men”. Oleh karena itu, Anatman Academy merupakan langkah yang
tepat buat saya dalam menyampaikan kritik serta menghargai pendapat sesama anggota. Ketika
membuat sebuah karya audio visual, saya tidak hanya mementingkan perspektif saya, tetapi
perspektif audiens, sehingga perlunya testimoni dari anggota tim dan kakak-kakak Anatman.
Industri perfilman Indonesia sudah seharusnya berbasis rasa cinta, energi positif, serta anti-
senioritas. Anatman merupakan salah satu rumah produksi yang memenuhi ketiga kriteria
tersebut. Dengan begitu, kita dapat menceritakan kepada keluarga kita, bahwa seberapa pun
rumitnya membuat film, masih terasa menyenangkan. Saya sangat bersyukur bisa menjadi
teman seperjuangan di Anatman Academy, bersama Alifah, Lia, Wandry, dan Adiva. Teruntuk
mas Putra, kak Renee, kak Panji, kak Rizal, mas Sigit, serta kakak lainnya yang tidak bisa disebut
satu per satu, terima kasih untuk segala kesempatan, kritikan, dan harapan yang sudah
diberikan. Sampai jumpa di kesempatan lainnya.
Comments